Welcome !

Hello ! Welcome to my Blog :) . .

Minggu, 09 Oktober 2016

Sejarah Patung di Persimpangan Jalan di Bali

A.    Sejarah Patung Catur Muka


Patung Catur Muka yang merupakan simbol atau ikon Kota Denpasar, kini telah dilengkapi kolam dengan air mancur yang mampu ‘menari-nari’. Terlebih di kala malam hari, maka air mancur pengitar patung – yang berlokasi di persimpangan atau
pertemuan empat jalan utama (Jalan Gajah Mada, Surapati, Udayana, dan Veteran) Denpasar — tersebut terlihat makin indah karena dihiasi lampu warni-warni. Perihal wujud patungnya, mengapa harus berkonsep Catur Muka alias sosok bermuka empat?
Jika dirunut sejarahnya, di lokasi Patung Catur Muka yang merupakan titik ‘nol kilometer’ Kota Denpasar itu  dahulu berdiri sebuah arloji atau jam besar bertiang. Pada 1972, jam itu dibongkar, lalu diganti dengan Patung Catur Muka yang merupakan upaya pengakomodasian mitologi Hindu Bali ke wujud aksesoris-aksesoris kota. Oleh tim perumus atau perancang kala itu, pendirian Patung Catur Muka dimaksudkan sebagai landmark kota.
Patung Catur Muka dibangun setelah disahkannya Lambang Daerah Kabupaten Badung oleh DPRD dengan SKP tanggal 18 Juni 1971. Sebagai realisasinya, diterbitkan SKP tanggal 28 Desember 1971 untuk penugasan membuat gambar Pra Rencana Monumen di Perempatan Agung Denpasar.  Dalam buku Patung Empat Muka disebutkan, tertanggal 30 Mei 1973, Bupati I Wayan Dhana menegaskan bahwa untuk menghindari adanya salah tafsir, maka di dalam kehidupan sehari-hari agar dipergunakan nama Patung Empat Muka yang dasar cerita dan filosofinya diambil dari lontar-lontar terkait.
Dengan begitu, Patung Catur Muka memang dibangun untuk penyebaran nilai-nilai filosofis dan konsepsi kepemimpinan lewat media profan, bukan sakral atau untuk dipuja. Semula ditegaskan bahwa patung ini bernama Patung Empat Muka, belakangan justru lebih populer disebut Patung Catur Muka. Disebutkan, lontar-lontar panduan dalam perancangan dan dasar filosofisnya adalah Lontar Widdhi Sastra, Gedong Wesi, Siwa Gama, Ramayana, Garuda Carita, Babad Bali, Usana Bali, Brahma Tatwa, Siwa Sesana, Niti Sastra, dan Kertha Tatwa.
Menurut terjemahan filosofinya, Patung Catur Muka berdiri di atas wujud bunga teratai atau padma sebagai simbolisme reinkarnasi-Nya guru, dalam bentuk perwujudan Catur Gophala. Perwujudan empat muka adalah simbolisme dari pemegang kekuasaan pemerintahan yang dilukiskan dalam keempat tangannya. Ada tangan pemegang aksmala atau genitri  yang bermakna bahwa pusat segalanya adalah kesucian dan ilmu pengetahuan.Ada tangan yang memegang cemeti dan sabet sebagai simbol ketegasan dan keadilan harus ditegakkan oleh pemerintah. Cakra artinya ‘barangsiapa yang melanggar hukum dan peraturan harus dihukum’. Sungu artinya pemerintahan berpegang pada penerangan atau undang-undang. Tali pada badan simbol reinkarnasi, artinya ‘mengetahui keadaan sebelum dan sesudah’.
Masing-masing wajah dalam Patung Catur Muka mengarah ke empat penjuru mata angin. Wajah atau sosok yang menghadap ke timur dimaksudkan sebagai Dewa Iswara, simbol  pemberi kebijaksanaan. Dewa Brahma menghadap ke selatan sebagai penjaga ketentraman. Dewa Mahadewa menghadap ke barat, pemberi kasih sayang. Dewa Wisnu menghadap ke utara sebagai penyuci jiwa manusia.
Dalam banyak bentuk keyakinan atau kepercayaan, misalnya di India atau Thailand, konsep ‘sosok empat muka’ memiliki variasi-variasi spesifik pemaknaannya. Di India, umpamanya, sosok tersebut dikonotasikan sebagai sosok Dewa Brahma sepenuhnya. Dalam agama Hindu di Bali, disebutkan Dewa Brahma adalah salah satu ‘personel’ Trimurti - Brahma, Wisnu, dan Siwa. Dewa Brahma juga dimanifestasikan sebagai dewa pengetahuan dan kebijaksanaan. Dewa Brahma yang juga disebut sebagai Dewa Api ini beristrikan Dewi Saraswati yang menurunkan ilmu pengetahuan ke dunia.
Mitologi Hindu di India menyebut Dewa Brahma bercirikan sesuai karakter yang dimilikinya. Ciri-ciri umum yang dimilikinya adalah bermuka empat yang memandang ke empat penjuru mata angin, masing-masing wajah mengumandangkan salah satu dari empat Weda. Dia juga bertangan empat, masing-masing membawa teratai, kitab suci Weda, busur atau kendi tempat air, dan genitri, serta menunggangi angsa atau duduk di atas teratai.
Dalam paparan lain, tokoh intelektual Budha, YM Maha Dhammadhiro Thera, menyebut Brahma memang banyak dikenal sebagai ‘dewa empat muka’. Sebagian masyarakat Tionghoa menyebutnya Sie Mien Fuo atau ‘Budha empat muka’ atau Sie Mien Sen, Dewa empat muka. Brahma (atau Braha), menurut Dhammadhiro Thera, berarti ‘besar’ —  mahluk berbadan besar, penguasa alam. Dalam tradisi Budhis, Brahma diletakkan di alam tersendiri, yakni alam Brahma, yang bebas nafsu gairah.
Secara prinsip, agama Budha mengakui keberadaan Brahma. Namun, menurut Dhammadhiro Thera, istilah Brahma dalam kitab agama Budha mewakili sekelompok mahluk dengan berbagai macam tingkatannya. Dewa Brahma, disebutkan juga akan habis masa usianya dan akan melanjutkan kehidupannya di alam-alam lain seperti halnya manusia atau binatang. Semasih belum mencapai tingkat-tingkat kesucian, mereka semua tak terlepaskan dari alam samsara.
“Brahma dalam ajaran Budha bukan mahluk kekal, bukan pencipta, bukan penentu garis hidup mahluk lain. Ia berasal dari mahluk yang telah mengembangkan batin hingga di tingkat rupajjhana dan arupajjhana.Kehidupannya dibatasi waktu, bersifat personal, bermuka satu dan tidak memiliki istri. Istilah Brahma juga dipakai untuk pengertian luhur, dewasa, hingga orangtua,” rinci Dhammadhiro Thera.
Sementara di Thailand, selain mewarisi tradisi Budhis, masyarakat Thai mewarisi tradisi kaum Brahmana yang di dalamnya meyakini perihal Brahma. Bagi masyarakat Thai, Dewa Brahma atau Brahmarupa — sosok dewa bermuka empat, pencipta mahluk, pemberi anugerah, rezeki, dan penentu garis hidup — paling populer dipuja. Patung Brahma di Bangkok juga sering disebut Patung Sie Mien Fuo (Budha bermuka empat) atau Sie Mien Sen (Dewa bermuka empat). Malah, patung-patung Brahma di Bangkok yang masyarakatnya dominan pemeluk Budha, semuanya dianggap sebagai Fuo.
Di pura-pura tertentu di Bali, Patung Catur Muka juga menjadi elemen penting. Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., pernah menuturkan, betapa Patung Catur Muka menjadi elemen penting bisa dilihat di Pura Pusering Jagat, Desa Pejeng, Tampaksiring, Gianyar.  Di dalam pura yang sangat tua usianya dan tergolong sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan di Bali ini terdapat banyak peninggalan purbakala. Dari sejumlah palinggih yang ada di pura ini, yang paling utama adalah Palinggih Ratu Pusering Jagat.
Lantas, palinggih lain yang tak kalah penting di situ adalah Palinggih Catur Muka. Palinggih ini sebagai media pemujaan Dewa Catur Loka Pala, manifestasi Tuhan sebagai pelindung empat arah. Menurut Wiana, lewat pemujaan Tuhan sebagai Catur Muka (Dewa Iswara, Dewa Brahma, Dewa Mahadewa dan Dewa Wisnu) dipalinggih ini, dimohonkan terciptanya sumber-sumber kehidupan berupa rasa aman dan sejahtera di semua penjuru dunia.

B.     Monumen Ida Cokorda Pemecutan IX
Patung yang ada di Kota Denpasar tidak terlepas dari sejarah yang dimilikinya. Dari sejumlah patung di Denpasar hampir seluruhnya menggambarkan tokoh kepahlawanan yang berjuang melawan penjajah. Salah satunya adalah sebuah monumen Ida Cokorda Pemecutan IX yang berada di jalan Thamrin , di depan Puri Pemecutan
Pada tahun 2011 dibangun patung Ida Cokorda Pemecutan IX di depan Puri Pemecutan, Denpasar. Patung  ini memperindah wajah kota sekaligus mengingatkan kembali perjuangan yang dilakukan puri yang ada di Denpasar ini.
Proses pembuatan patung, ternyata proses yang dirasa sangat sulit terjadi pada penggambaran patung tokoh tersebut. Pasalnya, untuk menentukan pakaian, postur dan pose patung itu, perlu kesepakatan dari seluruh orang yang dekat dengan tokoh tersebut.
Kepala Bidang Pengendalian dan Penataan Kota, DTRP Kota Denpasar Dewa Made Wesnawa Wedagama mengatakan, pembuatan patung tokoh puri ini tidak terlepas dari sejarah yang terjadi di Kota Denpasar. Khusus untuk patung Ida Cokorda Pemecutan IX menurutnya menghabiskan dana mencapai, Rp 1 miliar lebih.
Wesnawa menjelaskan, anggaran pembuatan patung tersebut diambil dari APBD induk tahun 2011. Dana tersebut terdiri dari pengerjaan penataan patung yang mencapai Rp 683 juta lebih dan pekerjaan penataan persimpangan sebesar Rp 234 juta.
Patung tersebut terdiri dari empat prajurit yang menandu Ida Cokorda Pemecutan IX yang ada diatasnya. Total ada lima patung yang diletakkan di depan Puri Pemecutan ini.
Wesnawa  yang juga menjadi pelaksana pengerjaan patung tersebut mengungkapkan, rencana sebelumnya istri dari Ida Cokorda Pemecutan IX dibuat mendampingi raja ini. Hanya saja, karena tempat patung yang tidak pas, maka rencana itu diurungkan.
Patung ini dibuat menggunakan bahan dari perunggu. Pemilihan material perunggu ini menurutnya disebabkan bahan tersebut lebih tahan cuaca dan bebas perawatan. Ia mengklaim patung dengan bahan perunggu sudah terbukti bisa bertahan hingga puluhan tahun. Pihaknya menuturkan, untuk pembangunan patung dirasakan lebih mudah dibandingkan saat merencanakan bentuk dari patung tersebut. Pasalnya, patung tersebut harus benar-benar menggambarkan sosok dari tokohnya tersebut. Untuk itu diperlukan masukan dari orang terdekat yang bisa menggambarkan sosok kedua pahlawan ini.Untuk bisa menentukan bentuk dari patung diperlukan kesepakatan dari semua pihak, baik dari pakaian, pose dan wajahnya. Ia tidak memungkiri banyak sekali usulan yang diterima.

C.    Patung Pendeta
Sekarang kita akan membahas salah satu patung yang ada di  jalan Diponegoro kota Denpasar. Patung ini terletak di sebuah pertigaan jalan, pusat kota. Awalnya saya kira patung ini adalah patung catur muka yang berada di perempatan jalan veteran, tidak jauh juga dari patung ini. tapi setelah saya perhatikan lebih seksama ternyata gambar patung di foto itu bukanlah catur muka yang ada di jalan veteran, tetapi sebuah patung yang ada di pertigaan jalan Dieponegoro. Di akun Facebook itu tertulis foto itu dibuat pada tahun 1930, berarti pada saat itu Bali masih dalam masa penjajahan Jepang. Tetapi foto ini tidak diambil oleh orang jepang melainkan seseorang yang ber-kewarganegaraan Belanda.
Lihatlah latar belakang foto pada tahun 1930 tersebut! terlihat masih banyak pohon kelapa dan rimbunnya pohon beringin, serta sebuah gubuk kecil didalam sebuah tembok penyengker. Patung itu dikelilingi tiga patung kecil lainnya, sepintas seperti sebuah sudut jalan dipedesaan. Tapi siapa sangka 70 tahun kemudian sudut jalan yang terlihat sederhana dan terkesan desa itu berubah menjadi tempat yang sungguh-sungguh berbeda lihat saja latar belakangnya! tidak ada lagi pohon kelapa dan teduhnya beringin, semua itu digantikan oleh tembok motel dan pertokoan serta jalan yang selalu ramai dilalui kendaraan bahkan di jam-jam tertentu, pertigaan ini menjadi pusat kemacetan. Patungnya pun sudah diganti, patung yang lama katanya dipindahkan entah kemana, dan diganti dengan patung yang sama tapi dengan ukuran yang lebih kecil tetapi masih di kelilingi tiga patung kecil.
Sekarang coba bayangkan seandainya dipertigaan jalan ini sejak awal tidak didirikan sebuah patung? bayangkan apakah kalian masih bisa ingat bahwa sebenarnya ini adalah sebuah sudut jalan dan pertigaan yang sama sekitar 70 tahun sebelumnya? mungkin jawabannya tidak, ingin rasanya bisa kembali ketempat itu pada tahun 1930 merasakan jalan yang masih bernuansa pedesaan. Tidak seperti sekarang ini, mungkin saja mereka tidak menyadari keberadaannya setiap kali melewati jalan ini, karena semuanya sudah berubah dan tidak seindah dulu.

NB : Informasi di dapat dari beberapa sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar