A.
Sejarah
Patung Catur Muka
Patung Catur Muka yang merupakan simbol atau ikon Kota Denpasar, kini
telah dilengkapi kolam dengan air mancur yang mampu ‘menari-nari’. Terlebih di
kala malam hari, maka air mancur pengitar patung – yang berlokasi di
persimpangan atau
pertemuan empat jalan utama (Jalan Gajah Mada, Surapati, Udayana, dan Veteran) Denpasar — tersebut terlihat makin indah karena dihiasi lampu warni-warni. Perihal wujud patungnya, mengapa harus berkonsep Catur Muka alias sosok bermuka empat?
pertemuan empat jalan utama (Jalan Gajah Mada, Surapati, Udayana, dan Veteran) Denpasar — tersebut terlihat makin indah karena dihiasi lampu warni-warni. Perihal wujud patungnya, mengapa harus berkonsep Catur Muka alias sosok bermuka empat?
Jika dirunut sejarahnya, di lokasi Patung Catur
Muka yang merupakan titik ‘nol kilometer’ Kota Denpasar itu dahulu berdiri sebuah arloji atau jam besar
bertiang. Pada 1972, jam itu dibongkar, lalu diganti dengan Patung Catur Muka
yang merupakan upaya pengakomodasian mitologi Hindu Bali ke wujud
aksesoris-aksesoris kota. Oleh tim perumus atau perancang kala itu, pendirian
Patung Catur Muka dimaksudkan sebagai landmark kota.
Patung
Catur Muka dibangun setelah disahkannya Lambang Daerah Kabupaten Badung oleh
DPRD dengan SKP tanggal 18 Juni 1971. Sebagai realisasinya, diterbitkan SKP
tanggal 28 Desember 1971 untuk penugasan membuat gambar Pra Rencana Monumen di Perempatan
Agung Denpasar.
Dalam buku Patung Empat Muka disebutkan,
tertanggal 30 Mei 1973, Bupati I Wayan Dhana menegaskan bahwa untuk menghindari
adanya salah tafsir, maka di dalam kehidupan sehari-hari agar dipergunakan nama
Patung Empat Muka yang dasar cerita dan filosofinya diambil dari lontar-lontar
terkait.
Dengan
begitu, Patung Catur Muka memang dibangun untuk penyebaran nilai-nilai
filosofis dan konsepsi kepemimpinan lewat media profan, bukan sakral atau untuk
dipuja. Semula ditegaskan bahwa patung ini bernama Patung Empat Muka,
belakangan justru lebih populer disebut Patung Catur Muka. Disebutkan,
lontar-lontar panduan dalam perancangan dan dasar filosofisnya adalah Lontar
Widdhi Sastra, Gedong Wesi, Siwa Gama, Ramayana, Garuda Carita, Babad Bali,
Usana Bali, Brahma Tatwa, Siwa Sesana, Niti Sastra, dan Kertha Tatwa.
Menurut
terjemahan filosofinya, Patung Catur Muka berdiri di atas wujud bunga teratai
atau padma sebagai simbolisme reinkarnasi-Nya
guru, dalam bentuk perwujudan Catur Gophala. Perwujudan empat muka adalah
simbolisme dari pemegang kekuasaan pemerintahan yang dilukiskan dalam keempat
tangannya. Ada tangan pemegang aksmala atau genitri yang bermakna bahwa pusat
segalanya adalah kesucian dan ilmu pengetahuan.Ada tangan yang memegang cemeti
dan sabet sebagai simbol ketegasan dan keadilan harus ditegakkan oleh
pemerintah. Cakra artinya ‘barangsiapa yang melanggar
hukum dan peraturan harus dihukum’. Sungu artinya pemerintahan berpegang pada
penerangan atau undang-undang. Tali pada badan simbol reinkarnasi, artinya
‘mengetahui keadaan sebelum dan sesudah’.
Masing-masing
wajah dalam Patung Catur Muka mengarah ke empat penjuru mata angin. Wajah atau
sosok yang menghadap ke timur dimaksudkan sebagai Dewa Iswara, simbol
pemberi kebijaksanaan. Dewa Brahma menghadap ke selatan sebagai penjaga
ketentraman. Dewa Mahadewa menghadap ke barat, pemberi kasih sayang. Dewa Wisnu
menghadap ke utara sebagai penyuci jiwa manusia.
Dalam
banyak bentuk keyakinan atau kepercayaan, misalnya di India atau Thailand,
konsep ‘sosok empat muka’ memiliki variasi-variasi spesifik pemaknaannya. Di
India, umpamanya, sosok tersebut dikonotasikan sebagai sosok Dewa Brahma
sepenuhnya. Dalam agama Hindu di Bali, disebutkan Dewa Brahma adalah salah satu
‘personel’ Trimurti - Brahma, Wisnu, dan Siwa. Dewa Brahma juga
dimanifestasikan sebagai dewa pengetahuan dan kebijaksanaan. Dewa Brahma yang
juga disebut sebagai Dewa Api ini beristrikan Dewi Saraswati yang menurunkan ilmu
pengetahuan ke dunia.
Mitologi
Hindu di India menyebut Dewa Brahma bercirikan sesuai karakter yang
dimilikinya. Ciri-ciri umum yang dimilikinya adalah bermuka empat yang
memandang ke empat penjuru mata angin, masing-masing wajah mengumandangkan
salah satu dari empat Weda. Dia juga bertangan empat, masing-masing membawa
teratai, kitab suci Weda, busur atau kendi tempat air, dan genitri, serta menunggangi angsa atau
duduk di atas teratai.
Dalam
paparan lain, tokoh intelektual Budha, YM Maha Dhammadhiro Thera, menyebut
Brahma memang banyak dikenal sebagai ‘dewa empat muka’. Sebagian masyarakat
Tionghoa menyebutnya Sie Mien Fuo atau ‘Budha empat muka’ atau Sie Mien Sen,
Dewa empat muka. Brahma (atau Braha),
menurut Dhammadhiro Thera, berarti ‘besar’ — mahluk berbadan besar,
penguasa alam. Dalam tradisi Budhis, Brahma diletakkan di alam tersendiri,
yakni alam Brahma, yang bebas nafsu gairah.
Secara
prinsip, agama Budha mengakui keberadaan Brahma. Namun, menurut Dhammadhiro
Thera, istilah Brahma dalam kitab agama Budha mewakili
sekelompok mahluk dengan berbagai macam tingkatannya. Dewa Brahma, disebutkan juga
akan habis masa usianya dan akan melanjutkan kehidupannya di alam-alam lain
seperti halnya manusia atau binatang. Semasih belum mencapai tingkat-tingkat
kesucian, mereka semua tak terlepaskan dari alam samsara.
“Brahma
dalam ajaran Budha bukan mahluk kekal, bukan pencipta, bukan penentu garis
hidup mahluk lain. Ia berasal dari mahluk yang telah mengembangkan batin hingga
di tingkat rupajjhana dan arupajjhana.Kehidupannya
dibatasi waktu, bersifat personal, bermuka satu dan tidak memiliki istri.
Istilah Brahma juga dipakai untuk pengertian luhur,
dewasa, hingga orangtua,” rinci Dhammadhiro Thera.
Sementara
di Thailand, selain mewarisi tradisi Budhis, masyarakat Thai mewarisi tradisi
kaum Brahmana yang di dalamnya meyakini perihal Brahma. Bagi masyarakat Thai,
Dewa Brahma atau Brahmarupa — sosok dewa bermuka empat, pencipta
mahluk, pemberi anugerah, rezeki, dan penentu garis hidup — paling populer
dipuja. Patung Brahma di Bangkok juga sering disebut Patung Sie Mien Fuo (Budha
bermuka empat) atau Sie Mien Sen (Dewa bermuka empat). Malah, patung-patung
Brahma di Bangkok yang masyarakatnya dominan pemeluk Budha, semuanya dianggap
sebagai Fuo.
Di
pura-pura tertentu di Bali, Patung Catur Muka juga menjadi elemen penting. Drs.
I Ketut Wiana, M.Ag., pernah menuturkan, betapa Patung Catur Muka menjadi
elemen penting bisa dilihat di Pura Pusering Jagat, Desa Pejeng, Tampaksiring,
Gianyar. Di dalam pura yang sangat tua usianya dan tergolong sebagai
salah satu dari Pura Sad Kahyangan di Bali ini terdapat banyak peninggalan
purbakala. Dari sejumlah palinggih yang ada di pura ini, yang paling
utama adalah Palinggih Ratu Pusering Jagat.
Lantas, palinggih lain yang tak kalah penting di situ
adalah Palinggih Catur Muka. Palinggih ini sebagai media pemujaan Dewa Catur
Loka Pala, manifestasi Tuhan sebagai pelindung empat arah. Menurut Wiana, lewat
pemujaan Tuhan sebagai Catur Muka (Dewa Iswara, Dewa Brahma, Dewa Mahadewa dan
Dewa Wisnu) dipalinggih ini, dimohonkan terciptanya
sumber-sumber kehidupan berupa rasa aman dan sejahtera di semua penjuru dunia.
B.
Monumen Ida Cokorda Pemecutan IX
Patung yang ada di Kota Denpasar tidak terlepas dari sejarah yang
dimilikinya. Dari sejumlah patung di Denpasar hampir seluruhnya menggambarkan
tokoh kepahlawanan yang berjuang melawan penjajah. Salah satunya adalah sebuah
monumen Ida Cokorda Pemecutan IX yang berada di jalan Thamrin , di depan Puri
Pemecutan
Pada tahun 2011
dibangun patung Ida Cokorda Pemecutan IX di depan Puri Pemecutan, Denpasar. Patung
ini memperindah wajah kota sekaligus
mengingatkan kembali perjuangan yang dilakukan puri yang ada di Denpasar ini.
Proses pembuatan patung, ternyata proses yang dirasa sangat sulit terjadi
pada penggambaran patung tokoh tersebut. Pasalnya, untuk menentukan pakaian,
postur dan pose patung itu, perlu kesepakatan dari seluruh orang yang dekat
dengan tokoh tersebut.
Kepala Bidang Pengendalian dan Penataan Kota, DTRP Kota Denpasar
Dewa Made Wesnawa Wedagama mengatakan, pembuatan patung tokoh puri ini tidak
terlepas dari sejarah yang terjadi di Kota Denpasar. Khusus untuk patung Ida
Cokorda Pemecutan IX menurutnya menghabiskan dana mencapai, Rp 1 miliar lebih.
Wesnawa menjelaskan, anggaran pembuatan patung tersebut diambil dari APBD
induk tahun 2011. Dana tersebut terdiri dari pengerjaan penataan patung yang
mencapai Rp 683 juta lebih dan pekerjaan penataan persimpangan sebesar Rp 234
juta.
Patung tersebut terdiri dari empat prajurit yang menandu Ida Cokorda
Pemecutan IX yang ada diatasnya. Total ada lima patung yang diletakkan di depan
Puri Pemecutan ini.
Wesnawa yang juga menjadi pelaksana pengerjaan patung tersebut
mengungkapkan, rencana sebelumnya istri dari Ida Cokorda Pemecutan IX dibuat
mendampingi raja ini. Hanya saja, karena tempat patung yang tidak pas, maka
rencana itu diurungkan.
Patung ini dibuat menggunakan bahan dari perunggu. Pemilihan material
perunggu ini menurutnya disebabkan bahan tersebut lebih tahan cuaca dan bebas
perawatan. Ia mengklaim patung dengan bahan perunggu sudah terbukti bisa
bertahan hingga puluhan tahun. Pihaknya menuturkan, untuk pembangunan patung
dirasakan lebih mudah dibandingkan saat merencanakan bentuk dari patung
tersebut. Pasalnya, patung tersebut harus benar-benar menggambarkan sosok dari
tokohnya tersebut. Untuk itu diperlukan masukan dari orang terdekat yang bisa
menggambarkan sosok kedua pahlawan ini.Untuk bisa menentukan bentuk dari patung
diperlukan kesepakatan dari semua pihak, baik dari pakaian, pose dan wajahnya.
Ia tidak memungkiri banyak sekali usulan yang diterima.
C. Patung Pendeta
Sekarang
kita akan membahas salah satu patung yang ada di jalan Diponegoro kota
Denpasar. Patung ini terletak di sebuah pertigaan jalan, pusat kota. Awalnya
saya kira patung ini adalah patung catur muka yang berada di perempatan jalan
veteran, tidak jauh juga dari patung ini. tapi setelah saya perhatikan lebih
seksama ternyata gambar patung di foto itu bukanlah catur muka yang ada di
jalan veteran, tetapi sebuah patung yang ada di pertigaan jalan Dieponegoro. Di
akun Facebook itu tertulis foto itu dibuat pada tahun 1930, berarti pada saat
itu Bali masih dalam masa penjajahan Jepang. Tetapi foto ini tidak diambil oleh
orang jepang melainkan seseorang yang ber-kewarganegaraan Belanda.
Lihatlah latar belakang foto pada tahun
1930 tersebut! terlihat masih banyak pohon kelapa dan rimbunnya pohon beringin,
serta sebuah gubuk kecil didalam sebuah tembok penyengker. Patung itu
dikelilingi tiga patung kecil lainnya, sepintas seperti sebuah sudut jalan
dipedesaan. Tapi siapa sangka 70 tahun kemudian sudut jalan yang terlihat
sederhana dan terkesan desa itu berubah menjadi tempat yang sungguh-sungguh
berbeda lihat saja latar belakangnya! tidak ada lagi pohon kelapa dan teduhnya
beringin, semua itu digantikan oleh tembok motel dan pertokoan serta jalan yang
selalu ramai dilalui kendaraan bahkan di jam-jam tertentu, pertigaan ini
menjadi pusat kemacetan. Patungnya pun sudah diganti, patung yang lama katanya
dipindahkan entah kemana, dan diganti dengan patung yang sama tapi dengan ukuran
yang lebih kecil tetapi masih di kelilingi tiga patung kecil.
Sekarang coba bayangkan seandainya
dipertigaan jalan ini sejak awal tidak didirikan sebuah patung? bayangkan
apakah kalian masih bisa ingat bahwa sebenarnya ini adalah sebuah sudut jalan
dan pertigaan yang sama sekitar 70 tahun sebelumnya? mungkin jawabannya tidak,
ingin rasanya bisa kembali ketempat itu pada tahun 1930 merasakan jalan yang
masih bernuansa pedesaan. Tidak seperti sekarang ini, mungkin saja mereka tidak
menyadari keberadaannya setiap kali melewati jalan ini, karena semuanya sudah
berubah dan tidak seindah dulu.
NB : Informasi di dapat dari beberapa sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar